"Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak terjangnya yang serba-mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan." (Filosofi Kopi, Dewi Lestari, 2006)
Kembali lagi, ke jaman kita masih sekolah dulu. Dimana pertama, rasa suka datang dengan beribu syarat. Dari fisik yang sempurna, sampai lantunan lagu yang suka dinyanyikan saat bersenandung dalam ujian, atau sekedar ekstrakurikuler yang dipilihnya, atau mungkin senyum pertama yang diberikan saat memasuki ruang kelas. Hati itu punya sistem yang berat saat itu, untuk terus memilih apa yang kita suka dari hal-hal kimiawi yang menjemput perasaan. Entah bagaimana menjabarkannya, yang jelas setiap rasa saat itu berasal dari banyak syarat.
Tidak seperti sekarang, bagaimana seseorang bisa menangis bahagia untuk seseorang yang dicintainya meski kebahagiaan itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Atau bagaimana rasa itu bisa timbul dengan sendirinya, tanpa tujuan, tanpa syarat dan tanpa pembatas. Dan bagaimana rasa rindu itu akan selalu menghantui tanpa jejak meski telah menghabiskan banyak waktu bersamanya. Perasaan itu datangnya seperti kilat di siang hari bolong, yang menyambar tanpa aba-aba. Tapi dengan hebatnya tetap terus berjalan sendiri dengan tegap tanpa keraguan dan dengan penuh keyakinan.
Percayalah, bahwa perasaan itu tidak pernah salah. Meski logika dan campur tangan orang lain berusaha memporakporandakan perasaan itu, tapi tetap, ia tidak pernah salah. Karena perasaan itu selalu benar, meski keadaan dan situasi kerap menyudutkannya sampai tak ada celah tersisa. Tapi tolong, jangan pernah menyalahkannya, karena ia merupakan saksi bisu perjalanan hidup kita sampai akhirnya membawa kita ke situasi, kondisi, dan logika yang paling tepat. Percayalah dan terus berharap.
:)